Di luar masih gelap-gulita. Saya duduk di dek paling atas. Lantai dan kursi basah oleh embun. Udara musim semi mempertahankan cuaca pagi pada suhu yang masih bisa ditenggang tubuh: 15 derajat Celsius. Sejak semalam kapal sandar di dermaga Feng Du. Bayang-bayang kota membentuk siluet raksasa. Di Ftimur, sebuah tebing terjal gagah mengangkang. Di puncaknya, pagoda kecil tertidur tenang. Lalu surya perlahan-lahan naik. Sinar merahnya membangunkan seisi kota. Juga pagoda itu.
Ketika matahari makin tinggi, kuil tersebut seperti makhluk mungil yang menghalang-halangi matahari merah itu memamerkan sinarnya. Permukaan Yangtze berpendarpendar. Dari atas kapal, sungai lebih tampak seperti telaga. Tak ada gelombang. Hanya riak halus di permukaannya—seperti barisan serangga di hamparan lumut hijau. Terbentuk sejak jutaan tahun lalu, Yangtze adalah keindahan tak tepermanai. Tiga ngarai—potongan sungai menyempit dengan dinding terjal menjulang hingga 1.500 meter di kiri-kanannya—adalah bagian terpenting perjalanan ini. Mula-mula adalah Ngarai Qutang.
Ini adalah ngarai terpendek, hanya 8 kilometer. Terletak di Desa Fengjie, Provinsi Chongqing, lebar sungai pada ngarai ini 100-200 meter. Puncak Bailin dan puncak Chijia— dua tebing menjulang di kiri-kanannya—membuat kapal Victoria terasa seperti keledai malas yang memasuki pintu raksasa. Gerbang itu tersusun dari gunung yang berlipat-lipat. Cahaya matahari menimpa satu sisi jabal dan mengabaikan sisi lainnya: meninggalkan warna hijau terang dan gelap berganti-ganti.
Tengadah ke atas di antara celah sempit, dua sisi gerbang seperti hamparan sutra hijau yang diambrukkan dari langit. Terbentang di atas permukaan yang naikturun. Di ujung tahang itu, kapal berhenti. Penumpang dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil terdiri atas 20 orang. Kami diarahkan ke kapalkapal bermotor dengan atap rumah tradisional Cina. Beriringan kapal menyusuri anak Sungai Yangtze ke arah hulu. Makin kecil perahu yang kami tumpangi, makin raksasa terasa alam di sekeliling.
Seorang pemandu perempuan menjelaskan perjalanan dengan bahasa Inggris beraksen Mandarin. Sampai di sisi tebing terjal, penumpang diminta turun. Sejumlah penari dari suku Tujia—etnis minoritas Tiongkok—menyambut di atas dermaga yang terbuat dari pelampung plastik yang disusun rapi. Mereka menyanyi dan menarikan bai shou wu, tarian selamat datang. Banyak pelancong yang ikut bergoyang, menggerakkan badan dalam formasi melingkar. Ngarai Wu kami lewati menjelang sore. Terbentang 45 kilometer, tahang itu terbagi dalam dua bilah: sisi timur dan barat.
Ngarai ini lebih lebar daripada ngarai sebelumnya. Karena luasnya, Wu kerap juga disebut Ngarai Besar. Ngarai terpanjang adalah Xiling, 66 kilometer. Kami sampai di kawasan ini pada hari ketiga. Sejak pagi, cuaca di Nanjiguan, dekat Yichang, sudah penuh kabut. Geladak kapal basah oleh gerimis. Angin kencang yang menimpa bendera, jaket, atau apa pun yang berkibar, menimbulkan suara gemuruh. Saya menaikkan tudung kepala pada wind breaker hitam yang saya pakai. Orang-orang berteduh di sisi geladak yang dilindungi atap.
Victoria bergerak perlahan memasuki mulut ngarai. Jarak pandang menipis. Gerimis mempercepat kelam. Kabut mengubah gunung-gunung menjadi lukisan cat air dengan warna pucat. Kami seperti Yunus yang bergerak perlahan memasuki mulut ikan paus. Semakin ke dalam, semakin temaram. Di sekeliling: gunung tanpa suara.
Website : kota-bunga.net