SERULING Victoria Lianna berteriak tiga kali. Jam menunjukkan pukul 21.00. Kota Chongqing berpendar oleh cahaya. Keramaian di dermaga belum juga surut. Saya menempati kamar di lantai lima. ”Mereka menaikkan kelas kamarmu,” kata Jiamin. Seharusnya saya menginap di kabin berukuran 19,6 meter persegi dengan tarif US$ 400 (sekitar Rp 5 juta) untuk tiga malam.
Mengetahui saya wartawan dari Jakarta, pengelola kapal memindahkan saya ke kabin eksekutif yang ukurannya sedikit lebih besar. Kamar baru itu terletak di pojok, memiliki dua dinding kaca berpenutup gorden yang langsung menghadap ke luar. Kabin memiliki kamar mandi dengan bak rendam dan penyejuk udara. Semua bilik di kapal itu memiliki teras selebar satu meter yang menjorok ke arah luar.
Seperti halnya kapal pesiar, Victoria menyediakan semua kebutuhan bagi para penumpang. Selain dua restoran di lantai dua dan enam, terdapat bar, salon, dan ruang hiburan. Ada pula pusat kebugaran, kamar pijat, dan ruang judi. Hampir setiap dek menyediakan ruang terbuka untuk memandang ke luar. Setidaknya 100 kru bekerja di Victoria setiap trip. Kapal dipimpin oleh Kapten Qiu Haifeng, lelaki ramah berusia 43 tahun. Pada hari kedua, ia mengajak saya ngobrol di ruang judi yang pada malam itu tak bertamu. Jiamin ikut serta. Juga dua kru Victoria. Qiu bercerita tentang suka-duka mengemudikan kapal di sungai.
Tak seperti kapten kapal laut yang harus waspada pada ombak besar, kapal sungai berlayar di air yang tenang. Namun sungai yang berkelok-kelok menjadikan kapal mudah berubah arah. ”Saya juga harus waspada terhadap kedalaman sungai,” kata Qiu. Sebagai kapal pesiar, Victoria tak kesulitan dengan pasokan logistik. Setiap hari kapal mendapatkan bahan makanan segar dan barang kebutuhan lain ketika bersandar di pelabuhan. Air untuk penumpang diambil dari sungai setelah dicuci dengan mesin pemurni.
Qiu membawa saya ke palka untuk melihat mesin tersebut. Seukuran mobil pick-up, alat itu menderu-deru menguarkan bau solar yang menyengat. Melewati mesin pemurni, air di wastafel dan shower kamar mandi memang beraroma kaporit. Keselamatan penumpang, menurut Qui, merupakan prioritas utama. Jaket pelampung tersedia di banyak sudut di koridor dek, juga di lemari dalam kamar. Kapal bergerak sangat perlahan. Maksimal kecepatan cuma 28 kilometer per jam.
Pengelola Victoria tampaknya tak ingin mengulang pengalaman kapal Eastern Star yang terbalik di Provinsi Hubei, Juni tahun lalu. Dihantam hujan dan petir serta kerusakan mesin, kapal miring hingga akhirnya terbalik dan tenggelam. Sebanyak 456 penumpang tewas, sebagian besar turis lokal. Hanya 14 orang yang selamat, termasuk kapten dan juru mesin. TERINGAT teman dari Jakarta, pukul lima saya terjaga. Katanya lewat pesan pendek: menikmati Yangtze, bangunlah pagi hari. Nantikan matahari menyentuh tebing sungai.