Upaya Mengurai Harga Cabai

Upaya Mengurai Harga Cabai

Permasalahan fluktuasi harga cabai seperti tak ada habisnya. Pemerintah melakukan segala upaya untuk mengendalikan harga komoditas hortikultura ini. Identifikasi permasalahan dilakukan secara on farm (produksi) dan off farm (pascapanen). Dalam hal ini, Ditjen Hortikultura, Kementan, telah memetakan permasalahan on farm terjadi karena pola tanam yang tergantung musim, sebaran produksi belum merata, ketersediaan lahan, serta ketersediaan sumber daya. Sedangkan permasalahan off farm yaitu cabai yang tidak tahan lama atau mudah rusak, rantai pasok yang panjang, tidak ada kebijakan harga, dan pola konsumsi cabai dalam bentuk segar. Meskipun pengaturan pola tanam yang belum maksimal, Abdul Hamid, Bendahara Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) memprediksikan pasokan cabai menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran tahun ini cenderung stabil. “Untuk puasa dan lebaran pasokan cabai cenderung stabil karena bulan Juni ada panen raya.

Tapi itu selama tidak ada gangguan cuaca,” jelasnya. Hamid mengungkapkan, pada Mei 2016 harga cabai di petani berkisar Rp9.000 – Rp10 ribu dan paling tinggi Rp12 ribu per kg. Titik impas (Break Event Point- BEP) petani berkisar Rp8.000 – Rp9.000 per kg. “Ini asumsinya tidak ada per ubahan cuaca ya. Kalau misalnya satudua bulan ini ada perubah an cuaca yang sangat ekstrem, hujan terus ataupun kering terus tidak ada air, itu yang bikin ru sak,” terang pria yang juga diper caya sebagai Sekjen Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) ini. Harga kemungkinan naik pada hari raya karena tidak ada pedagang. “Itu prediksi kita. Bukan tidak ada barang, tapi tidak ada pedagangnya. Biasanya lima hari sebelum hari raya,” lanjut Hamid. Produsen benih cabai itu mengakui terjadi peningkatan permintaan benih sejak Maret silam sampai Mei.

“Kalau tanam bulan Maret ‘kan panennya sekitar bulan Juni atau Juli,” ungkap Hamid. Nanang Triatmoko, petani cabai di Banyuwangi, Jawa Timur, yang menanam cabai di lahan 5 ha setiap bulan ini juga senada dengan Hamid. “Untuk lebaran ini, (harga) dibilang mahal banget ya enggaklah. Posisinya buat pemerintah ya aman. Harga nya di bawah Rp40 ribu/kg di tingkat pedagang Jakarta Rata-rata selisih harga antara pedagang sentra produksi dengan Jakarta sekitar 30%,” jelas Ketua AACI Daerah Banyuwangi ini. Selain Nanang, Tunov Mondro Atmojo, petani cabai asal Magelang, Jawa Tengah juga mengakui stok untuk Ramadan dan Idul Fitri aman. “Di Magelang selalu ada yang panen. Selama sepanjang ta hun itu tidak pernah putus. Kalau lagi musim pa nen cabai satu desa bisa 50 ha. Paling tidak kalau mu sim seperti ini panen hanya 5 ha, tapi yang pasti rata-rata desa pasti ada yang panen,” ujar petani yang sudah tidak tahun bertani cabai ini dengan yakin.

Pemerataan Pasokan

Pemerintah melakukan beragam upaya untuk men jinakkan harga cabai. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah antara lain dengan manajemen tanam, inisiasi kawasan baru, optimalisasi lahan BUMN/Pemda, implementasi teknologi, kemitraan/avalis, mengurangi rantai pasok, sosialisasi alternatif pola konsumsi, serta pengolahan hasil. Yanuardi, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura, Kementan, menyampaikan sejumlah lang kah pemerintah dalam rangka stabilisasi harga cabai agar tidak terlampau fluk tuatif dalam acara dis kusi terbatas di Jakarta (10/3). “Kami sudah mengatur pola produksi dan bekerjasama dengan Kabid Hortikultura (Dinas Pertanian daerah) di 33 provinsi. Jadi bukan mainmain. Kami kumpulkan data dari teman-teman, berapa ke butuhan cabai untuk masing-masing. Kemudian kita bagi per bulan berapa kebutuhannya,” terangnya.

Selain itu, pemerintah juga melaksanakan pola tanam sejak Oktober 2015 untuk pro duksi Januari 2016. “Penanaman dilakukan tiga bulan ke belakang. Untuk harihari kurang air, kami fasilitasi dengan pompa air, irigasi tetes saat musim kering. Kami siapkan Rp500 miliar untuk fasilitasi musim kering,” lanjut Yanuardi. Pengaturan pola tanam tersebut sudah disampaikan ke penyuluh agar petani diarahkan ke target sesuai yang direncanakan pemerintah. Na mun, Yanuardi mengakui memang anggaran ti dak akan cukup. “Kebijakan itu arahnya supaya bagaimana produk petani bisa mengakses pasar dan ini yang kami rumuskan dalam pengendalian impor,” jelasnya. Pe ngendalian impor perlu dila kukan karena selama 2014 – 2015 Indonesia masih mendatangkan cabai segar dan olahan dari India (70%), Tiongkok (18%), Thailand (5%), dan Malaysia (5%).

Suara Petani

Menanggapi beragam upaya yang dilakukan pemerintah, Tunov mengakui bantuan pemerintah di daerahnya memang ada tetapi tidak mencukupi. “Di sini ada yang ter-cover program pemerintah dan ada yang tidak, karena kalau berbicara ban tuan pemerintah memang tidak mencukupi. Jadi yang mandiri tetap ada,” ucapnya. Bantuan yang diberikan pada saat musim kering ini masuk ke kelompok tani pada 2015 berupa irigasi tetes dan sarana produksi. Namun, Tunov melakukan penyesuaian dalam mengikuti program pemerintah. “Kalau saya menyesuaikan dengan program pemerintah. Misalnya pemerintah menurunkan bantuan 1.000 ha bulan Mei, kalau saya tidak dapat bantuan ya saya tanam sebelum Mei. Karena kalau saya ikut nanam Mei di luar bantuan, itu namanya “bunuh diri”. Harga pasti akan jatuh kalau panen raya. Mending saya duluin nanamnya,” ujar petani berusia 33 tahun ini. Sedangkan Nanang menganggap, bantuan pemerintah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi pasar. Ia melihat, penerima bantuan tidak tepat.

“Orangnya itu-itu saja. Yang benarbenar petani eksis tidak menjadi kelompok tani. Sementara yang mendapat bantuan kan kelompok tani,” jelasnya. Selain itu, petani cabai yang sudah bertani 10 tahun ini menilai waktu pemberian bantuan tidak tepat. “Pemerintah harusnya fleksibel menurut data yang akurat. Tidak hanya asal bulan 6 – 7 – 8  tanam, kita saja harus jeda tanam. Tanam lagi mulai 89 dan 1011,” urai Nanang. Ia menyarankan, pe merintah juga melakukan peng awas an terhadap pe laksana an pemberian bantuan karena di lapangan terjadi pe nyim pangan. “Yang saya tahu, diberi bantuan 5 ha, tapi hanya tanam 12 ha saja. Itu riil terjadi,” ungkapnya. Tidak semua petani suka bergantung kepada bantuan pemerintah. Banyak petani mandiri yang cenderung kre atif untuk menemukan solusi permasalahan di lapangan. Ia akan mencari cara menekan biaya produksi supaya tetap mendapatkan keuntungan yang layak kendati harga kurang bersahabat. Revo TS. Guntoro, Zona Manager Jawa PT Rainbow Agroscience memaparkan, biaya produksi dapat ditekan dengan teknologi te pat guna. Ia mengatakan, petani butuh benih yang bagus sesuai dengan lokasi tanam. “Saya lihat di Lampung, setelah tanam jagung di bawahnya tanam cabai sebagai turus kemudian dipotong ja gungnya. Di Brebes juga petani melakukan hal yang menarik, mereka melakukan tumpang sari dengan bawang,” cetusnya